Posts

Showing posts from April, 2017

Puisi: Perjalanan Hidup oleh Nicma Faneri

Ku berjalan .. berjalan terus tanpa henti Sekalipun kaki telah lelah .. lelah untuk menapaki jalanan yang berduri Harus aku terjang Kerikil-kerikil tajam Yang menghadang.. ku tak akan lelah berjalan Aku hanya insan Tuhan.. Berjalan sendiri dalam kesunyian Mencari apa yang ku cari Mencari mimpi yang telah pergi Aku memiliki mimpi ingin ku Raih mimpi itu Namun.. Mimpi itu terlalu tinggi. Mampukah aku.. Sampaikah tanganku untuk meraih mimpi itu.. Mungkinkah?.. Oh Tuhan.. Engkau sang maha penyayang Tempat di mana aku meminta dan mencurahkan segala kepenatan.. Tunjukan arah yang benar Agar ku dapatkan jalan Untuk meraih mimpi dan masa depan yang cerah .. *** © Nicma Faneri

Puisi: Tanamkanlah Kejujuran oleh Rudy Azhar

Aku bukanlah sempurna Aku bukanlah rona yang lepas dari noda dan dosa Namun aku selalu berusaha dalam kehidupan Untuk selalu mengedepankan kejujuran. Bagiku maya maupun nyata haruslah ada satu ruas kejujuran di sana Ruas yang tetap menjejakkan kaki di bumi Agar jangan sampai salah pengertian terjadi. Bagiku penting untuk memulai semua dengan kejujuran Untuk menghindar ruang fitnah dan kesalah-pahaman Dalam ruang imajinasi di tulisan puisi Temukan ruang cermin hati kacamu di sini. Ya, ruang cermin-cermin hati Yang akan dapat menelanjangi diri Walau dirimu berbalut indah impian maya Namun jangan lupa identitas dunia nyata. Tanamkanlah kejujuran dimanapun jua Sebagai jejak-jejak pualam dirimu nantinya... *** © Rudy Azhar

Puisi: Doa oleh Chairil Anwar

Kepada pemeluk teguh, Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut nama-Mu Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh Caya-Mu panas suci Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku Di pintu-Mu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling oleh Chairil Anwar 13 November 1943

Puisi: Sudah Dulu Lagi oleh Chairil Anwar

Sudah dulu lagi terjadi begini Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan Yang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara Sudah runtuh lagi, sudah dulu lagi Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil. *** © Chairil Anwar

Puisi: Buat Album D.S oleh Chairil Anwar

Seorang gadis lagi menyanyi Lagu derita di pantai yang jauh, Kelasi bersendiri di laut biru, dari Mereka yang sudah lupa bersuka. Suaranya pergi terus meninggi, Kami yang mendengar melihat senja Mencium belai si gadis dari pipi Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi. Kami rasa bahagia tentu ‘kan tiba, Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan Dan di negeri kelabu yang berhiba Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan. Lagu merdu! apa mengertikah adikku kecil yang menangis mengiris hati Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil, Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali? *** © Chairil Anwar

Puisi: Kepada Pelukis Affandi oleh Chairil Anwar

Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi berani memasuki rumah sendiri, terdiri di ambang penuh kupak, adalah karena kesementaraan segala yang mencap tiap benda, lagi pula terasa mati kan datang merusak. Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti, kecemasan derita, kecemasan mimpi; berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggi atas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan cipta, kau memaling dan memuja dan gelap-tertutup jadi terbuka! *** © Chairil Anwar

Puisi: Krawang - Bekasi oleh Chairil Anwar

Krawang - Bekasi Kami yang kini terbaring antara Krawang – Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan,

Puisi: Selama Bulan Menyinari oleh Chairil Anwar

Selama Bulan Menyinari Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggil-panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan di hadapan berpuluh lorong dan gang menimbang: ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas” Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggilan-panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Juga ibuku yang berjanji Tidak meninggalkan sekoci. Lihatlah cinta jingga luntur: Dan aku yang pilih tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak, Lihatlah cinta jingga luntur: Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan aku sudah lebih dulu kaku. *** Chairil Anwar

Puisi: Malam oleh Chairil Anwar

Malam Mulai kelam belum buntu malam, kami masih saja berjaga –Thermophylae? – –jagal tidak dikenal? – tapi nanti sebelum siang membentang kami sudah tenggelam hilang…. *** Chairil Anwar 1949

Puisi: Buat Nyonya N. oleh Chairil Anwar

Buat Nyonya N. Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu, dan kini dia turun ke rendahan datar. Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu, Burung-burung asing bermain keliling kepalanya dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun. Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu Atas puncak tinggi sendiri berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi, Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil Turun terus. Sepi. Datar-lebar-tidak bertepi *** Chairil Anwar 1949

Puisi: Senja Di Pelabuhan Kecil oleh Chairil Anwar

Senja Di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap *** Chairil Anwar 1946

Puisi: Selamat Pagi, Yayang oleh Arifin C. Noer

Selamat Pagi, Yayang Ketika cahaya matahari tumpah lewat kaca jendela Angin pun memainkan pucuk dedaunan, Bunga-bunga genit jadinya Kita sama-sama menggeliat tanpa saling menatap Diam-diam berterimakasih kepada udara - kepada hidup Karena kita masih mau percaya pada cinta Di atas karpet berserakan sisa-sisa Percakapan-percakapan kita Mimpi-mimpi kita semalam Di antara sepatu-sepatu sandal-sandal Celana-celana baju-baju Asbak yang penuh putung, gelas-gelas kosong botol-botol kosong Langit pagi ini langit kita Berwarna biru muda rata dan terbuka Biarkan bening biarkan hening Jangan putar kaset dulu Jangan ada gerak dulu Aku hanya ingin mendengar Menghirup desah nafasmu Dan menatap matamu Pandanganmu yang selalu bagai malam Kita harus berterimakasih kepada hidup Karena kita masih mempercayai cinta Sekarang segeralah mandi Berpakaian yang rapi sisir rambut Biarkan terjulai seperti biassanya Kalau mau pake sipat hati-hati, Jangan kena bolamata nah segeral

Puisi: Nyanyian Sore oleh Acep Zamzam Noor

Nyanyian Sore Adalah sinar matahari yang terselip Di antara kubah masjid dan silhuet rumpun bambu Bukit-bukit tertidur dalam biru redup yang jauh Sebatang sungai mengalirkan kebeningannya di sela batuan Sesayup suara adzan dalam balutan kabut tipis Kampungku, segala yang kurindu tertimbun tahun-tahun bisu Dan kini aku ingin bersajak untukmu Adalah permadani kuning yang menghampar luas Petak-petak sawah dan garis-garis patah pematang hijau Di utara bencana panjang itu sudah lama usai Kini tinggal reruntuknya dalam ingatan Musim yang bergulir menyajikan kehijauan lain Lembayung menyalakan daun-daun, dalam basuhan embun Dan gerobak masih menyeret bebannya ke selatan Tapi di beranda sesayup ini, di hati yang bicara Di antara kepulan kopi panas dan asap rokok yang mengawang Kita semakin terpenjara bukan oleh duka atau lapar Juga bukan oleh kesetiaan yang menyiksa Kita semakin kehilangan rumah yang bernama waktu Sementara langit mengelam, sungai-sungai berkemas ke muar

Puisi: Sebuah Kamar oleh Chairil Anwar

Sebuah Kamar Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!” Ibuku tertidur dalam tersedu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada di luar hitungan: Kamar begini, 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa! *** © Chairil Anwar

Puisi: Sajak Putih oleh Chairil Anwar

Sajak Putih (buat tunanganku Mirat) Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah... Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri, Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini! Kucuplah aku terus, kucuplah Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku... *** Chairil Anwar (18 Januari 1944) versi: Surat-surat 1943-1983

Puisi: Aku oleh Chairil Anwar

Aku Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi.. *** © Chairil Anwar Maret 1943

Puisi: Bukan Cinta Biasa oleh Rudy Azhar

Bukan Cinta Biasa Bukan cinta jika tak ada niatan tulus. Bukan cinta namanya, jika hanya sekedar modus. Bukan cinta jika selalu hadir pengkhianatan. Bukan cinta namanya, jika hanya menghadirkan kesedihan. Bukan cinta jika selalu mengundang kecewa. Bukan cinta namanya, jika hanya menghadirkan duka. Karena cinta fitrah yang suci, dan hadirnya pun mengundang bahagia juga menyumbang hikmah luar biasa, meski terkadang ada perselisihan kecil sebagai bumbu cinta yang bersemi dalam bingkai pernikahan. Karena cinta itu anugerah, yang hadirnya membuat hati selalu tersenyum merekah, bukan kepedihan yang selalu membuat hari gundah. *** © Rudy Azhar

Puisi: Malam oleh Rudy Azhar

Malam Malamku sayang ... Kau datang menyelimuti kelamku Ku terhanyut dalam malamku Ku terhempas dalam duka malamku Malamku sayang ... Adakah malam indah merindukanku ? Dimanakah malamku berada ? Ku ingin terlelap dihening malamku Malamku sayang ... Peluk aku dalam hangat malamku Hadirkanlah mimpi indah di tidur malamku Agar senyum manisku selalu menghiasi bibirku di pagi hari... *** © Rudy Azhar