Puisi: Selama Bulan Menyinari oleh Chairil Anwar
Selama Bulan Menyinari
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggilan-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
Tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.
***
Chairil Anwar
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggilan-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
Tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.
***
Chairil Anwar